Studi Kasus

Bukan Satay Taichan, Satay Kato jadi bisnis yang besar

07 Jul 2018, Ditulis oleh Putri Anggia

Bukan Satay Taichan, Satay Kato jadi bisnis yang besar

Saat memulai usaha bisnis kuliner bernama Satay Kato pada 20 Agustus 2016, Yudha Fajrin merogoh kocek sebanyak Rp 30 juta. Uang tersebut jadi modal awal berdagang sate dengan gerobak kaki lima yang digelar di  Kemang, Jakarta Selatan.

Menurut Yudha, karakteristik brand itu penting. Dari pertama kali buka, dirinya menegaskan bukan menyajikan Sate Taichan, tapi Satay Pedas Kato. Perbedaannya yakni, Sate Taichan menggunakan daging ayam bagian dada, sementara Kato menggunakan bagian paha.

Image result for satay kato


 
Sambal Taichan mentah, sedangkan Satay Kato sambal matang. Sate Taichan belum diberikan bumbu. Sedangkan Satay Kato, satenya sudah diberi bumbu jadi tanpa sambal sudah memiliki rasa.

Lantaran digelar secara gerobakan kaki lima maka kendala terbesar dalam bisnis Satay Kato adalah risiko cuaca, bila turun hujan deras maka pembeli berkurang. Bahkan pada saat kawasan Kemang banjir maka Satay Kato tutup karena tak bisa menggelar dagangannya.

“Saya awalnya berbisnis bertiga tapi karena ada perbedaan sudut pandang, akhirnya saya jalankan sendiri,” cerita pria pendiri sekaligus pemilik PT Kato Kuliner Indonesia.


Modal Rp30 juta dialokasikan untuk gaji karyawan dan sewa tempat selama 3 bulan di  Kemang. Satay Kato digelar dengan tenda gerobakan dan 4 buah kursi, Yudha memasak sendiri dan dibantu 2 karyawan. Setiap hari sate selalu habis. Harga Satay Kato murah meriah hanya Rp20.000 per porsi.

Lantaran minat beli Satay Kato di kawasan Kemang cukup tinggi maka Yudha memutuskan membuka cabang di kawasan yang sama. Kini sudah ada 3 cabang di Kemang. Khusus di cabang Kemang, Satay Kato bisa menghabiskan lebih dari 100 kg ayam setiap minggunya.

“Saya tipikal orang yang berani buang porsi untuk marketing atau memperjuangkan brand. Yakni marketingnya dengan memberi calon customer tester. Jadi kan di kawasan Kemang ini banyak café-café dan tempat hiburan. Nah saya memberikan promosi dengan menyiapkan beberapa porsi untuk dibagikan gratis kepada orang-orang yang ada di sekitar tempat saya mangkal,” kata keturunan Padang, China, Jember-Arab, yang kini berusia 29 tahun ini.

Yudha mengaku usahanya sudah dilirik beberapa investor yang berminat membuat Satay Kato ini jadi lebih besar lagi. Mereka melihat Satay Kato ini potensinya besar, marketnya luas, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Cuma yang jadi kendala adalah tempatnya kaki lima. “Mereka, investor melirik, kenapa tidak bertempat di bangunan seperti kios atau ruko. Karena kami kan jualannya kaki lima, jadi kalau hujan bubar gitu kan. Tapi saya belum memutuskan iya,” kata Yudha.

Kukuh dengan karakteristik yang dibangun, Sekarang bisnis Satay Kato sukses dengan memiliki 25 cabang seluruh Indonesia. Omzet rata-rata Rp50 juta per hari. Tertinggi Rp70 juta-80 juta per hari. Target 2018 ini, Yudha menargetkan Satay Kato memiliki 100 cabang di seluruh Indonesia

“Harga franchise Satay Kato Rp75 juta. Itu sudah semua kebutuhan jualan, mulai dari kebutuhan masak, hingga tab untuk mesin kasir. Permintaan dari luar pulau Jawa sudah sangat banyak. Kami ada central kitchen untuk setiap kota dan sekitarnya. Juga ada tim marketingnya di masing-masing kota,” jelas Yudha sambil menceritakan cabang di Yogya, mitra franchise modal Rp70 juta, dalam tempo 8 minggu sudah bisa balik modal.

Menurut Yudha, inovasi tidak hanya datang dari produk, tetapi juga bisa dari service. Contohnya inovasi bisnis yang dia diterapkan di 25 cabang dan berhasil membuat semua partner happy.

Salah satu inovasi yang Yudha buat untuk konsumen pelanggan Satay Kato adalah dengan membuat grup whatsapp dinamakan Kato Genk yang digunakan untuk antre online. Hal ini dilatarbelakangi kondisi bahwa Satay Kato identik dengan lama pembuatannya dan cepat habis.

“Saya membuat sebuah inovasi, namanya antre online. Order di siang hari atau beberapa jam sebelum datang ke gerai melalui whatsapp. Datang tidak perlu tunggu, tinggal ambil sesuai jam yang diinginkan,” kata Yudha.

Ekspansi bisnis brand Kato juga sudah mulai merambah ke beverage yaitu Kato Kopi, lalu Kato Katsu, properti Kato House, dan Kato Clothing. Selanjutnya juga akan ekspansi ke bisnis Kato Steak. Saat ditelisik dari mana asal nama brand Kato? Ternyata Kato berasal dari nama anak pertama Yudha Fajrin.

Tentunya Mas Yuda menggunakan aplikasi Qasir dalam pengelolaan bisnisnya. Yuk cek video komentar dari Mas Yudha.

#Qasir

Share artikel ini